Selasa, 01 September 2009

Keberadaban Kebudayaan Jawa

Judul Buku: Centhini
Penulis: Sunardian Wirodono
Penerbit: Diva Press Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2009
Tebal Buku: 510 halaman

PENULISAN prosa berbasis sejarah yang sudah populer ternyata mempunyai jaminan segmentasi pasar tersendiri. Secara sadar segmentasi semacam inilah yang menjadi bidikan sejumlah penerbit, termasuk Diva Press Yogyakarta. Komitmen besar Diva Press terhadap penerbitan buku-buku prosa berbasis sejarah yang sudah populer tentu saja cukup menyumbang terhadap pengayaan perspektif penulisan aspek sejarah itu sendiri. Hal ini pun menjadi tantangan sekaligus peluang memikat bagi sejumlah penulis prosa untuk memanfaatkan momentum yang baik itu.
Penerbitan novel Centhini karya Sunardian Wirodono ini tentu saja adalah salah satu bagian dari upaya menelaah Serat Centhini yang sudah melegenda dalam perspektif liris estetik. Kita tahu, Serat Centhini sudah cukup populer dalam ranah kajian bidang humaniora, banyak penelitian dengan berbagai sudut pandang mencoba mengkaji secara kritis perihal sumbangsih karya itu bagi kemaslahatan umat.
Dalam kesempatan penulisan novel ini, apa yang saya tangkap dari upaya keras Sunardian Wirodono adalah menerjemahkan secara visual apa yang terjadi dalam konteks latar atau sosiologis yang melingkupi keberadaan Serat Centhini. Sebagaimana hasil riset Sunardian Wirodono, ternyata Serat Centhini yang ditulis pada 1815 secara kolaboratif merupakan buah 3 tangan pujangga Keraton Surakarta. Orang yang terlibat itu, misalnya saja Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabehi Sastradipura. Meski begitu, pada akhirnya Sri Susuhunan Pakubuwana V yang pernah menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat juga ikut menambahkan karena merasa tidak puas dengan apa yang ditulis 3 pujangga Keraton Surakarta tersebut.
Dalam rumusan Sunardian Wirodono, Serat Centhini kemudian merangkum berbagai pengetahuan yang ditulis dalam bentuk tembang. Misalnya saja pengetahuan tentang lingkungan, seks, dunia kebatinan, makanan dan minuman, keris, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah tantangan yang sekiranya sangat menarik dihadapi sang penulis adalah menghidupkan latar sosiologis ketika novel ini ditulis. Bagian per bagian atau bab per bab di dalam buku ini merupakan upaya pengejawantahan tuntutan mengaktualisasikan latar sosiologis menjadi terlempar ke ‘’zaman baheula’’. Tentu saja pembaca akan dibawa pada pemaparan deskripsi cerita dengan sudut pandang realis.
Terus terang, saya kurang tahu, apakah buku ini cukup berhasil menerjemahkan situasi latar sosiologis dalam sejumlah bab yang membahas sampiran tema-tema tertentu misalnya pandangan tentang seks, tradisi kekerabatan dalam cara berpikir masyarakat Jawa, dan sebagainya. Secara tekstual Sunardian Wirodono memang cukup berhasil mengeksplorasi khazanah pakem unggah-ungguh atau trah dalam tradisi Jawa. Tetapi, apakah apa yang dihidupkannya cukup benar dalam kaidah the inner of soul alias ‘’jiwa dalam’’ masyarakat Jawa pada masa itu dan juga kontekstualisasinya pada masa sekarang, wallahualam. Lho?
Bagi saya, sumbangan terbesar penulisan novel ini adalah pada keberanian menginterpretasikan karakter tokoh dan hubungan sosial yang sangat mungkin terjalin pada masa itu. Transformasi pemahaman semacam itu memang sangat menarik karena mendudukkan pembaca bukan sebagai objek yang selesai. Pembaca justru tertantang mengritisi celah relasi antartokoh dan relasi sosial yang saling menjalin. Dalam rumusan sederhana saya, ada sejumlah rongga yang justru memungkinkan pembaca masuk sebagai ‘’peneliti pembanding’’. Saya tidak mengatakan bahwa sejumlah data historis dalam novel adaptasi ini kurang akurat atau lemah. Saya hanya menangkap kesan saja bahwa maksimalisasi transformasi pemahaman yang dibangun novel ini hanya sampai pada kekuatan menafsirkan hubungan antartokoh dan ‘’dugaan’’ relasi sosialnya.
Meski begitu, novel ini tetap memiliki kelebihan utama dalam hal cara membangun rasa penasaran yang terus menerus. Terlebih lagi dengan cara pengemasan melalui sudut pandang per bab adalah berjudul ‘’Malam Pertama sampai Keempat Puluh’’ (terakhir), maka pembaca seperti selalu dihadapkan pada apa yang akan terjadi dengan nasib si pengantin, Si Centhi atau siapa pun dia. Dengan tidak terjebak hanya pada stereotip perihal pengagungan seks, karena unsur seks hanya digunakan sebagai ‘’baju’’ atau sampiran pemikat saja. Konteks penguraian yang ingin dikedepankan bisa lebih dari hanya sekadar urusan gincu seks, namun bicara soal sublimasi nilai-nilai kebudayaan dan keberadaban Jawa secara kompleks. Dan memang adiluhung itu.

(Satmoko Budi Santoso)


Suara Merdeka, 19 Juli 2009 | 12:12 wib


Tidak ada komentar:

Posting Komentar