Selasa, 01 September 2009

Mengikuti Centhini Saat 40 Malam Mengintip Malam Pengantin

Sebuah Ulasan Ringkas Novel Cinthini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono


Oleh: Dhian Hari M.D. Atmaja


Novel Cinthini sebagai (yang menurut saya merupakan) interpretasi ulang dari Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1815 oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V dapat memberikan wawasan kepada generasi muda tentang karya sastra Nusantara lama (dibaca juga dengan: kuno). Novel panjang Centhini ini memberikan gambaran pada generasi muda tentang bagaimana nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam kesusastraan Indonesia Lama (Kesustraan Lama) yang saat ini sulit untuk dipahamioleh khalayak publik yang lebih luas. Kesulitan dalam proses pemahaman ini bukan karena faktor apapun selain karena faktor bahasa dan minat generasi muda pada Sastra Lama. Faktor bahasa dikarenakan karena Centhini yang ditulis oleh Susuhunan Pakubuwana V adalah kesustraan dengan bahasa Bahasa Jawa Klasik.

Kondisi semacam ini menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Sastra Lama (scara khusus dalam hal ini adalah Centhini) tidak mampu terpahami oleh generasi muda mengingat perkembangan Bahasa Jawa dalam kehidupan modern saat ini semakin menurun. Bagi masyarakat modern sekarang ini, khususnya bagi mereka yang sama sekali tidak mengenal bahasa Jawa akan menemui kesulitan bahkan tidak bisa memahami (baca: membaca) dalam proses pemaknaan Centhini.

Fenomena ini menjadikan Centhini hanya sebagai bahan yang tidak menjadi konsumsi publik secara umum. Hanya beberapa pihak saja yang mampu mendapatkan jaringan untuk mengakses Centhini dan kemudian membacanya. Pihak-pihak ini sangatlah minoritas hanya berkisar antara para Akademisi Sastra dan Budaya Indonesia, Jawa, dan para pegiat Seni Jawa. Kondisi ini pulalah yang membawa Centhini sebagai karya sastra yang kemudian disebut dengan artefak asing yang kemudian terkoleksi begitu saja di dalam perpustakaan-perpustakaan. Bahkan secara lebih memprihatinkan lagi (kalau tidak boleh dikatakan dengan lebih menyedihkan) Serat Centhini jarang atau sangat sulit diemukan di dalam perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi.

Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karangan Sanardian Wirodono hadir dalam khasanah Sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia dan muatan yang (dapat dikatakan) lebih ringan dari Serat Centhini. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin muncul sebagai angin segar yang membawa (mengangkat) kesejukan pemikiran dan nilai-nilai kearifan budaya lokal (Jawa) di tengah deru-debur dunia modern.

Novel panjang yang menceritakan tentang pernikahan Syekh Amongrogo (jayengresmi) dengan Tambangraras merupakan gambaran dari tradisi masyarakat Jawa dalam melangsungkan hajatan pernikahan. Sistematika dari tatacara pernikahan masyarakat Jawa digambarkan dengan detail oleh Wirodono. Hal ini sebenarnya sudah diungkapkan terlebih dahulu dalam Kata Pengantar yang saya kutip sebagai berikut:


… banyak bertutur mengenai urutan upacara pengantin Jawa, mulai dari Ijab, panggih (mempertemukan kedua mempelai), pahargyan (resepsi), kemudian sepasaran (lima hari dari Ijab), ngunduh pengantin, mendirikan rumah, dan boyongan. Baru setelah melewati 40 hari, dalam tradisi Jawa, pengantin harus telah berdiri sendiri sebagai rumah tangga baru dengan rumah milik sendiri. … (Wirodono, 2009: 24-25).


Apabila secara sekilas kita membaca judul novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin ini, para pembaca akan diarahkann dalam cakrawala harapan, yaitu untuk menyaksikan 40 malam pengantin yang mendebarkan. Untuk pertama kali yang terlintas adalah harapan untuk mendengar cerita dari Centhi (nama tokoh) yang mengungkap tentang 40 malam pengantin baru dalam melewati malam-malamnya. Bagaimana sang pengantin dalam melewati 40 malam pertama mereka? Cakrawala harapan pembaca akan langsung mengarah pada hubungan seksualitas sang pengantin.

Kalau memang hal tersebut yang kita harapkan dengan membaca Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karya Wirodono terbitan Diva Press ini, sungguh-sungguh pembaca akan kecewa. Pembicaraan seksualitas di dalamnya begitu rapi dan hampir saja tidak ada. Pertanyaannya, apa yang dilakukan sang pengantin selama 40 malam tersebut? Adakah hubungan seksualitas di sana? Bagaimana darah pertama itu tumpah? Apakah merek masih malu untuk berhubungan seksual? Ataukah mereka tidak bisa melakukan hubungan seksualitas itu? Atau bagaimana?

Itulah pertanyaan saya yang timbul untuk pertama kalinya. Awalnya kecewa setelah saya membaca setiap malamnya (maksud sayaadalah setiap babak/ malam di dalam novel), saya menemukan sesuatu yang lebih menggairahkan. Sesuatu yang lebih membuat saya semakin bergairah menjalani mala-malam nikmat saya (yang notabene: adalah juga sang pengantin). Saya menemukan banyak hal yang membuat bulu-roma berdiri dengan cepat, dan juga membuat saya lebih ter-enggah-enggah. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin benar-benar memukau yang memberikan pemahaman akan kesejatian makna.


Bersambung ke Bagian II …….


Daftar Pustaka:

Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Yogyakarta: DIVA Press.

Masukan ini dipos pada 15 Juli 2009 08:06 dan disimpan pada Fenomena Filsafat, Fenomena Sastra dengan kaitan (tags) Mengikuti, Centhini, 40, Malam, Mengintip, Sang, Pengantin, Sunardian, Wirodono, Diva, Press, 2009, Dhian Hari M.D. Atmaja, Serat, Sri, Susuhunan, Pakubuwana, V, Sastra, Lama, Nusatara, Klasik, Indonesia, Kesusastraan, Seksualitas, Seks. Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda.



Mengikuti Centhini saat 40 Malam Mengintip Sang Pengantin (Bagian II)


Sebuah Ulasan Ringkas Novel Cinthini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono



Oleh: Dhian Hari M.D. Atmaja


Bagian II


Serat Centhini (yang dapat dikatakan sebagai) adalah kitab masyarakat Jawa di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Di dalam serat Centhini yang ditulis pada tahun 1815 tersebut, merupakan perpaduan dari tiga pujangga keraton Surakarta, yaitu Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan oleh Ki Ngabehi Sastradipura, yang merupakan gambaran dari kehidupan dari masyarakat Jawa di dalam menjalani kehidupan. Adanya perkembangan di dalam kehidupan masyarakat Jawa di dalam sistem kepercayaan, yaitu dengan menyebarnya agama Islam di dalam masyarakat Jawa secara luas, Pabubuwana V mengutus Ki Ngabehi Sastradipura untuk mendalami agama Islam (Wirodono, 2009: 12).

Nilai-nilai budaya Islam yang terkandung di dalam Centhini, khusunya yang dalam Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin merupakan ajaran yang indah dan mengesankan. Di dalam novel yang ditulis Wirodono (2009) tersebut sebagai suatu penjabaran dengan gaya bahasa yang lebih ringan dan dapat dikosumsi oleh masyarakat luas dari pada naskah aslinya. Hal ini mengingat bahwa Serat Centhini (1815) ditulis dalam bahasa Jawa Klasik sehingga tidak setiap orang mampu memahami pesan di dalamnya.

Nilai yang terkandung di dalam novel itulah yang membuat saya merasa lebih bergairah untuk terus membaca. Syekh Amongrogo banyak mengungkapkan nasehat (baik yang diungkapkan oleh Syehk Amongrogo sendiri maupun yang diungkapkan ulang oleh Centhini) untuk warga Wanamarta, Istrinya (Tambangraras), dan juga untuk kita, publik pembaca.

Melalui Bagian II dari ulasan tentang Novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karya Sunardian Wirodono, saya menuliskan kembali (yang tentu saja disertai dengan interpretasi subjektivitas dan objektivitas saya) dua nasehat Syekh Amongrogo tersebut. Saya hanya mengungkapkan dua saja dan nasehat lainnya masih begitu banyak dan lebih membuat pembaca masuk di dalam perenungan.


Peperangan

Sebuah negara dalam masa perjuangan dalam usaha pembentukan (berdirinya negara tersebut) dapat dikatakan selalu saja diawali dengan peperangan. Di dalam negara yang sudah damai pun, peperangan terus terjadi di dalam golongan-golongan masyarakat. Peperangan tidak harus dalam bentuk kontak senjata antara dua negara besar dalam merebutkan wilayah, namun pertikaian antara dua golongan masyarakat pun dapat dikatakan sebagai peperangan. Bahkan, pertikaian antara individu dengan individu yang lain juga dapat lihat sebagai bentuk dari peperangan.

Perang atau peperangan merupakan bagian dari permasalah sosial, diantara beberapa masalah sosial yang lain yang menjadi bahasan ilmu Sosiologi. Syekh Amongrogo (atau Jayengresmi) memandang masalah peperangan dengan sangat bijak. Pandangan Syekh Amongrogo ini dikeluarkan saat masih menggunakan nama Jayengresmi sebagai putra dari Sunan Giri, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:


“Perang tidak akan menyelesaikan persoalan,” Jayengresmi mendebat Endrasena. “Perang yang sesungguhnya adalah bagaimana kita mampu menaklukkan kehendak jiwa….” (Wirodono, 2009: 33).


Penggalan nasehat dari Novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin memberikan penekanan pemikiran bahwa perang yang sebenarnya adalah melawan keinginan-keinginan seseorang yang ada di dalam diri sendiri. Dengan kata lain, dikatakan bahwa perang adalah usaha untuk menundukkan diri sendiri, melawan diri sendiri. Usaha ini mengarahkan untuk mengalahkan hawa nafsu dimana setiap permasalahan sosial (khususnya perang) dilahirkan dari dorongan-dorongan yang timbul di dalam pribadi seseorang maupun kelompok.

Konsep memerangi diri sendiri dapat juga dilihat dalam filosofi ibadah puasa baik puasa Ramadhan maupun puasa sunah. Dimana ibadah ini menciptakan suatu batasan-batasan yang dengan tujuan mengekang pelepasan hasrat manusia yang tidak terkontrol. Puasa sebagai ikrar untuk memerangi diri sendiri.

Perang melawan diri sendiri sebagai puncak dari perjuangan seseorang dalam menciptakan kehidupan kolektif yang rukun. Rukun berarti keadaan damai tanpa adanya perselihan yang sampai menimbulkan keriguan pada orang lain maupun diri sendiri. Mencermati dan memahami gambaran dari pemikiran seperti ini, dunia akan menjadi lebih baik andaikata setiap individu memahami dan menerapkan konsep perjuangan yang diungkapkan oleh Jayengresmi. Perang adalah melawan diri sendiri.


Kesabaran

Sebuah kaitan yang menentukan di dalam mewujudkan konsep hidup damai (baca juga dengan: rukun) setiap manusia hendaknya memiliki kesabaran di dalam dirinya. Kesabaran seolah-olah datang di dalam kehidupan manusia sebagai celah dan ruang ( dan atau kesempatan) yang memberikan seseorang waktu untuk berpikir. Kesabaran inilah yang akhirnya menjadi modal dasar untuk membentuk karakter individu yang pada akhirnya membentuk karakter serta perilaku kehidupan sosial masyarakatnya.

Didasarkan pada arti pentingnya kesabaran, agama dan juga norma sosial juga ikut menggarisbawahi aspek ini. Kesabaran sebagai kontrol individu yang menjadikan manusia lebih bijaksana. Di dalam kehidupan sosial diperlukan adanya kontrol sosial untuk mewujudkan keselarasan kehidupan bermasyarakat. Mewujudkan kontrol sosial yang baik, manusia (atau individu) membutuhkan adanya kontrol diri sendiri yang kemudian disebut pula dengan kesabaran.

Syekh Amongrogo, melalui deskripsi yang diungkapkan oleh Centhini memberikan konsep kesabaran dengan lebih dalam. Konsep kesabaran tersebut mengarahkan individu pada kesejatian hidup, yang dapat dilihat dalam penggalan di bawah ini:


Karena kesabaran itu tiada batas, maka ia mestilah karena keihklasan. Ikhlas, bahwa semua itu pastilah Allah yang berkehendak. Allah-lah yang mengatur semuanya. Manusia hanyalah melakoninya, menjalaninya. Manusia diwajibkan untuk berikhtiar, namun fitrahnya itu harus berpulang pada kuasa Allah. Dan, kita hanya pasrah mengenai hasilnya (Wirodono, 2009: 113).


Konsep kesabaran di atas memberikan gambaran bahwa setiap individu harus mengembalikan setiap hal pada Allah. Kesabaran tidak lantas membawa individu pada keadaan pasif tapi individu harus aktif. Hanya saja keaktifan itu disertai dengan rasa yang ikhlas untuk mengembalikan semua keputusan pada Allah. Mungkin inilah konsep yang sangat dekat dengan filosofi Jawa: Nrimo ing Pandhum, yang merujuk pada aspek kesabaran.

Nilai sabar yang ada di dalam kehidupan manusia membawa pada kesejatian makna tentang asal usul kehidupan (manusia). Segala sesuatu hanyalah milik Allah, dari Allah, dan akhirnya pun akan kembali pada Allah. Tidak ada tempat lain bagi kehidupan (manusia) di akhir perjalanannya selain di sisi Allah, sebagai AWAL dan juga sebagai AKHIR.

Ketika manusia sudah menerapkan sikap untuk menjalani kehidupan dengan kesabaran yang penuh keikhlasan, tidak akan ada lagi penderitaan yang akan mendatangi kehidupan manusia. Segala derita yang ada akan membawa manusia pada keadaan untuk mau menghayati bahwa segala sesuatu dari Allah, sebagai bentuk dari kasih sayang Allah pada manusia. Penderitaan namun akan terasa sebagai kasih sayang. Inilah kekuatan sabar yang tiada batas.


***


Uraian tentang dua nasehat sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang disampaikan di dalan Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karangan Sunardian Wirodono, adalah kandungan kecil dari konsep-konsep nasehat yang lebih banyak lagi yang ada di dalam novel tersebut. novel ini hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia post-modern sebagai tontonan dan tuntunan (hiburan dan tuntunan). Konsep pemikiran arif dan bijaksana di masa lalu dihadirkan kembali ke masa sekarang oleh Wirodono. Nilai yang membanggakan dan menggetarkan hati sebagai orang Jawa (dan Indonesia).

Inilah nilai yang indah dari kehidupan. Bukan hanya sekedar seksualitas, percintaan, hasrat akan harta yang dihamburkan di dalam pesta atau derajat-derjat yang tinggi di dunia. Akantetapi, nilai yang membawa nalar pada suatu kesejatian, kebaikan universal yang diungkapkan dengan semangat dan darah Jawa untuk Manusia.

Mengakhiri ulasan yang sangat singkat ini, saya ingin mengungkapkan hal yang saya pahami, BAHWA manusia akan menjadi lebih berharga dengan ilmu!


[Phenomenology Institute | Dhian Hari M.D. Atmaja]

*** Selamat membaca novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karya Sunardian Wirodono. Selamat menyelami gelora nalar dan hati ***



Daftar Pustaka:

Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Yogyakarta: DIVA Press.


Masukan ini dipos pada 22 Juli 2009 08:06 dan disimpan pada Fenomena Filsafat, Fenomena Sastra dengan kaitan (tags) Mengikuti, Centhini, 40, Malam, Mengintip, Sang, Pengantin, Sunardian, Wirodono, Diva, Press, 2009, Dhian Hari M.D. Atmaja, Sri, Susuhunan, Pakubuwana, V, Sastra, Seksualitas, Karya, Yogyakarta, 1815, Ulasan, Novel, Filsafat, Nasehat. Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda.


http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2009/07/15/mengikuti-centhini-saat-40-malam-mengintip-sang-pengantin/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar