Selasa, 01 September 2009

Novel Centhini Rasa Sastrawi Tradisi Jawa

JOGJA: Karya sastra Jawa legendaris awal abad ke-19, yakni Suluk Tambangraras atau lebih dikenal sebagai Serat Centhini, telah dibuat novelnya, berjudul Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, oleh novelis Sunardian Wirodono.

Dalam novel yang diterbitkan Diva Press, akhir Mei 2009 itu, Sunardian yang juga penulis novel Syair Panjang Aceh itu melihat, sebenarnya Serat Centhini merupakan wujud ensiklopedi mengenai dunia masyarakat Jawa. “Seperti tercermin dalam bait-bait awalnya, serat ini ditulis dengan ambisi baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa yang meliputi berbagai hal seperti persoalan agama, kebatinan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, primbon, pertanian, kuliner, adat istiadat, dan juga seks,” kata Sunardian, saat launching novel setebal 500 halaman itu di Warung Apresiasi (Wapres), Jl. Laksda Adisutjipto no 23 Jogja, kemarin.

Namun, lanjut Sunardian, seringkali stigmatisasi masyarakat soal Centhini hanya merujuk pada unsur seksualitas semata. “Meski Serat Centhini dikenal luas karena penjabarannya yang berbicara soal seks bukan hanya verbal tapi kadang liar, hal itu tak punya posisi dominan dalam novel ini. Jika pun ada adegan seksnya, lebih karena semangat paradoksalnya,“ katanya.

Stigmatisasi inilah yang ingin coba direkonstruksi Sunardian, bahwa dalam Centhini banyak ditemui nilai spiritualitas Jawa, agama, serta kehidupan manusia yang prinsipil dan memberi pencerahan. Sunardian sendiri menggunakan sudut pandang sebagai Centhini dalam menceritakan perjalanan-perjalanan malam pengantin Syekh Amongraga dan Tambangraras selama empat puluh malam.

Novel ini mengadaptasi jilid V, VI, VII dari 12 jilid Serat Centhini yang asli, yang memang banyak bercerita soal upacara dan ritual pengantin itu. Novel ini, menurut Edi Mulyono dari Diva Press, memberikan alternatif tafsir dan pemahaman tersendiri tentang Serat Centhini.

“Selama ini Serat Centhini telah diterjemahkan, dilatinkan, disarikan dalam bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Perancis. Namun untuk bentuk novel, yang lebih sastrawi dan ringan belum ada. Semoga dengan langkah ini, generasi muda lebih tertarik lagi untuk menyelami tradisi sejarah Jawa,” katanya.

Oleh Pribadi Wicaksono (HARIAN JOGJA), dikutip dari Harian Jogja, 11 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar